ANALISIS
ARTIKEL JURNAL:
DAMPAK DEPRESIASI NILAI TUKAR DAN
PERTUMBUHAN UANG BEREDAR TERHADAP
INFLASI:
APLIKASI THRESHOLD MODEL
KARYA:
RIZKI E. WIMANDA
PENELITI
EKONOMI DI BANK INDONESIA
BERDASAR
TEORI LITERATUR:
ILMU MAKROEKONOMI
KARYA:
PAUL A. SAMUELSON & WILLIAM D. NORDHAUS
REVIEW
ARTIKEL JURNAL:
Perhatian terhadap
inflasi begitu besar sejak Indonesia mengadopsi inflation targeting pada tahun
2000. Salah satu topik studi yang penting adalah meneliti faktor-faktor
penyebab inflasi. Penulis pada bukunya menemukan bahwa inflasi di Indonesia
dipengaruhi secara signifikan oleh ekspektasi inflasi (backward-looking dan
forward-looking), output gap, depresiasi nilai tukar, dan pertumbuhan uang
beredar. Dalam analisisnya dia juga menemukan bahwa dampak nilai tukar lebih
besar dibandingkan dengan dampak pertumbuhan uang beredar (M1). Analisis
tersebut mengasumsikan bahwa dampak kedua variable tersebut adalah linear,
dalam arti dampaknya adalah konstan untuk setiap tingkat depresiasi nilai tukar
dan pertumbuhan uang beredar. Dengan menggunakan
threshold model paper ini menguji apakah dampak nilai tukar dan pertumbuhan
uang beredar terhadap inflasi linear atau tidak. Selanjutnya, akan diuji apakah
terdapat nilai threshold, berapa banyak nilai threshold yang dapat
diidentifikasi, dan berapa berapa besar dampaknya.
Pass-through Nilai Tukar
Salah satu isu sentral di
ekonomi internasional adalah pass-through nilai tukar dimana didefinisikan
sebagai dampak dari 1 persen depresiasi nilai tukar pada inflasi domestik.
Secara umum, studi mengenai pass-through nilai tukar ini dapat dikelompokkan
menjadi 3. Kelompok pertama adalah studi dampak nilai tukar pada harga impor
industri tertentu. Kelompok kedua adalah studi dampak nilai tukar pada harga
import secara aggregat. Dan kelompok ketiga adalah studi dampak nilai tukar
pada CPI atau WPI.
Menggunakan data 71
negara dari tahun 1979 sampai dengan 2000, Choudhri dan Hakura (2006)
memperlihatkan bahwa ada hubungan positif yang kuat antara pass-through nilai
tukar dengan rata-rata inflasi. Negara-negara yang memiliki inflasi yang rendah
cenderung memiliki pass-through nilai tukar yang rendah. Begitu pula
sebaliknya. Calvo dan Reinhart (2000) pass-through untuk sejumlah negara maju
dan berkembang, termasuk Malaysia dan Indonesia. Dengan menggunakan data
bulanan dari Agustus 1997 sampai November 1999, mereka menemukan pass-through
nilai tukar di Indonesia adalah 0.062.
Hubungan antara Uang dan Inflasi
Hubungan uang dan inflasi
dapat diturunkan dari persamaan permintaan uang. Masyarakat ingin memegang uang
untuk membeli barang dan jasa. Jika harga barang dan jasa naik, masyarakat
cenderung akan memegang uang lebih banyak. Faktor yang paling penting dalam
permintaan uang adalah pendapatan. Pada saat pendapatan masyarakat naik,
masyarakat akan cenderung untuk berbelanja lebih. Pengeluaran yang lebih banyak
berhubungan dengan memegang uang yang lebih banyak. Studi-studi yang dilakukan
para pakar berkesimpulan bahwa perubahan kuantitas uang dan perubahan harga
mempunyai hubungan yang erat.
Aplikasi Threshold Model
Threshold model merupakan
kasus spesial dari kerangka statistik yang kompleks, seperti mixture model, switching
model, Markov-switching model, dan smooth transition threshold model (Hansen,
1997). Threhold model dapat diaplikasikan pada banyak kasus. Misalnya,
Galbraith (1996) melakukan studi mengenai hubungan antara uang dan output.
Dengan menggunakan data Amerika dan Canada, dia menemukan bahwa uang memiliki
pengaruh yang kuat pada output pada saat pertumbuhan uang di bawah nilai
theshold tertentu. Hasil ini konsisten dengan proposisi bahwa kebijakan moneter
mempunyai dampak yang kecil atau bahkan tidak memiliki dampak sama sekali pada
saat pertumbuhan uang sangat tinggi.
Khan dan Senhadji (2001) meneliti hubungan antara inflasi
dan pertumbuhan ekonomi pada 140 negara selama periode 1960 sampai dengan 1998.
Mereka berargumentasi bahwa inflasi memiliki dampak yang negatif terhadap
perekonomian manakala inflasi di atas nilai threshold tertentu. Sebaliknya,
inflasi memberikan dampak yang positif bagi perekonomian manakala inflasi di bawah
nilai thresholdnya. Mereka menemukan bahwa nilai threshold untuk negara maju
adalah 1-3 persen, sementara untuk negara berkembang nilai threholdnya adalah 11-12
persen. Threshold model juga digunakan Papageorgiou (2002) dalam mengevaluasi
tingkat keterbukaan terhadap perekonomian.
Model Empiris dan Teknik Pengolahan Data
Untuk mengestimasi model,
nilai threshold dan nilai parameter slope diestimasi secara bersamaan. Hansen (1997)
merekomendasikan untuk mencari estimasi dengan mencari nilai dari sum of
squared errors yang minimal. Setelah ditemukan nilai threshold, kita perlu
menguji apakah nilai tersebut signifikan secara statistik atau tidak. Studi ini
mengikuti Hansen (1997, 2000) dalam pencarian multiple regimes pada data dengan
menggunakan depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan M1 sebagai threshold
variable. Metode yang berdasarkan asymptotic distribution ini dapat menguji
signifikansi dari regime yang terpilih oleh data.
Setelah nilai threshold diperoleh, kita perlu menguji
apakah threshold effect-nya signifikan secara statistic atau tidak. Untuk
menguji keberadaan threshold effect dari money growth terhadap inflasi, penulis menggunakan
model yang sama, namun dengan mengganti epresiasi
nilai tukar dengan pertumbuhan uang beredar sebagai threshold variable.
Threshold Effect pada Depresiasi Nilai Tukar
Hasil estimasi TSLS dengan
menggunakan adjusted HP filter sebagai proxy dalam perhitungan potensial
output, kami menemukan bahwa koefisien dari depresiasi nilai tukar adalah
sebesar
-0,050 dan koefisien dari
pertumbuhan M1 adalah 0,021. Hasil ini menunjukkan bahwa secara rata-rata
dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi lebih besar dibandingkan dengan
dampak pertumbuhan uang beredar. Setelah mengestimasi threshold depresiasi nilai
tukar, ditemukan nilai SSR yang paling minimum, yaitu 408,25, pada nilai -8,4%.
Hal ini berarti threshold depresiasi nilai tukar adalah sebesar 8,4%.
Hasil estimasi model dengan menggunakan adjusted HP
filter untuk menghitung output potensial, dapat kita lihat bahwa dampak
depresiasi nilai tukar pada inflasi pada saat tingkat depresiasi nilai tukar
lebih besar atau sama dengan 8,4% adalah sebesar 0,056, sedangkan dampaknya
pada saat tingkat depresiasi nilai tukar di bawah 8,4% adalah sebesar 0,045.
Kedua koefisien tersebut di atas adalah signifikan pada tingkat 1%.
Setelah menguji apakah benar terdapat perbedaan antara
model linear dengan model threshold, didapatkan bahwa tidak ada perbedaan
dampak depresiasi nilai tukar yang signifikan terhadap inflasi pada level di
bawah threshold dan di atas threshold. Dengan kata lain, dampak depresiasi
nilai tukar pada inflasi adalah linear, yaitu sebesar 0,05% untuk setiap 1%
tingkat depresiasi.
Secara keseluruhan, dari bootstrap test statistics pada
variabel ini tidak ditemukan adanya signifikansi secara statistik. Nilai pvalues
berkisar antara 0,966 dan 0,999. Hal ini mengimplikasikan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi
pada di atas dan di bawah nilai threshold-nya.
Threshold Effect pada Pertumbuhan Uang
Setelah mengestimasi
nilai threshold untuk pertumbuhan uang beredar, maka pencarian nilai threshold
dilakukan mulai dari 0% sampai dengan 40%, dengan kenaikan sebesar 0,08. Hal ini berarti terdapat 500
kandidat nilai threshold. Kami menemukan bahwa nilai threshold untuk pertumbuhan
M1 adalah 9,84%7. Hasil estimasi threshold dengan menggunakan adjusted HP
filter sebagai pengukuran output gap. Mengingat hasil dari variable utama cukup
robust, yaitu semua koefisien signifikan secara statistik, maka kita dapat
langsung menganalisa hasil thresholdnya. Dari table tersebut, koefisien
pertumbuhan uang beredar pada saat di bawah atau sama dengan 9,84% ( θ1 )
adalah 0,099, sedangkan koefisien pertumbuhan uang beredar pada saat di atas 9,84%
( θ2 ) adalah 0,032. Kedua koefisien tersebut signifikan pada level 1%.
Hasil ini berimplikasi bahwa ada perbedaan dampak dari
pertumbuhan M1 terhadap inflasi pada saat di atas atau di bawah nilai thresholdnya,
yaitu 9,84%. Sebagai ilustrasi, apabila M1 tumbuh sebesar 5% di
bulan ini, maka terdapat tambahan inflasi sebesar 0,5% di dua bulan yang akan
datang. Sedangkan apabila M1 tumbuh 10% di bulan ini, maka akan ada tambahan
inflasi rata-rata sebesar 0,98% pada 2 bulan mendatang. Langkah selanjutnya
adalah menguji apakah nilai threshold tersebut ada atau tidak dengan melakukan
bootstrapping.
Setelah menemukan nilai threshold yang pertama, penulis
mencari kemungkinan adanya nilai threshold yang
lain, dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya nilai threshold yang lain antara 9,84% sampai
dengan 40%. Dengan penambahan nilai sebanyak 0,075 terdapat 400 kandidat nilai
threshold. Ditemukan bahwa SSR terkecil pada threshold 17,13%. Hal ini berarti
bahwa 17,13% adalah kandidat threshold kedua. Dengan kata lain, hubungan antara
inflasi dan pertumbuhan M1 adalah linear pada saat M1 tumbuh di atas 9,84%.
Usaha pencarian kandidat threshold berikutnya adalah
antara 0% sampai dengan 9,84%. Hasil estimasi TSLS dengan 2 threshold, yaitu
9,84% dan 7,08% dapat kita perhatikan bahwa koefisien dari pertumbuhan M1 pada
saat tumbuh di bawah 7,08% adalah 0,146; pada saat tumbuh antara 7,08% dan 9,84%
koefisiennya adalah 0,088; dan pada saat tumbuh di atas 9,84% koefisiennya turun
menjadi 0,033. Semua koefisien tersebut di atas adalah signifikan padal level
1%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan M1, dampaknya terhadap
inflasi akan semakin berkurang.
Hasil empiris ini menghasilkan beberapa hal yang menarik.
Pertama, semua koefisien, kecuali konstanta dan dummy variabel untuk krisis
pada sebagian model, adalah signifikan. Kedua, estimasi dari nilai threshold
adalah sama, yaitu 9,84% and 7,08%. Ketiga, koefisien dari threshold effect
agak berbeda, namun perbedaannya sangat kecil. Koefisien dari pertumbuhan M1
pada saat tumbuh di bawah 7,08% adalah berkisar 0,156-0,160; koefisien dari
pertumbuhan M1 pada saat tumbuh antara 7,08% dan 9,84% berkisar 0,094-0,096;
dan koefisien dari pertumbuhan M1 pada saat tumbuh di atas 9,84% adalah
berkisar 0,035-0,037.
Mengingat semua nilai p-values dari bootstrapping
kurang dari 1%, maka kita dapat menolak hipotasa nol untuk dua regime dan
prefer kepada tiga regime. Selain itu, jika dibandingkan nilai SSR pada
threshold model (model 6 dan model 8) dan nilai SSR pada linear model (model 5
dan model 7), kami menemukan bahwa model threshold lebih baik dari model
linear.
Dari hasil analisis dan uji di atas, hasil empiris ini
memberikan bukti yang kuat bahwa hubungan pertumbuhan M1 dan inflasi dapat
digambarkan dengan tiga regime. Dapat kita lihat bahwa kemiringan dari garis
solid warna coklat ketika M1 tumbuh sampai dengan 7,1% adalah lebih curam dibandingkan
dengan garis ketika M1 tumbuh antara 7,1%-9,8%. Demikian pula pada saat M1 tumbuh
lebih dari 9,8%, kemiringan garis menjadi lebih landai.
Hasil temuan ini memberikan kesimpulan bahwa dampak uang
beredar pada inflasi pada saat uang beredar tumbuh
di bawah 9,8% akan lebih besar dibandingkan dengan dampak depresiasi nilai
tukar terhadap inflasi. Kesimpulan ini berbeda dengan studi sebelumnya yang tidak
memasukkan threshold effect, dimana dampak depresiasi nilai tukar terhadap
inflasi adalah lebih besar dibandingkan
dengan pertumbuhan uang beredar pada setiap tingkat.
ANALISIS TEORI:
Dalam artikel jurnal yang
berjudul Dampak Depresiasi Nilai Tukar Dan Pertumbuhan Uang Beredar Terhadap
Inflasi: Aplikasi Threshold Model ini kita akan lebih banyak bicara mengenai
Uang, Nilai Tukar Uang, Pertumbuhan Uang Beredar, Kebijakan Moneter, dan juga
Inflasi.
Sebelum berbicara jauh, mari kita bahas dulu mengenai
uang. Apa itu uang? Uang adalah segala sesuatu yang berfungsi sebagai alat
tukar yang diterima umum. Uang disini terbagi dalam dua jenis, yaitu uang
transaksi (M1) yang digunakan sehari-hari seperti jumlah uang logam dan kertas
di luar bank, deposito uang yang dapat di cekkan. Kemudian ada uang luas (M2) yang didalamnya termasuk M1,
rekening tabungan, dan asset pengganti yang sangat dekat dengan uang sempit.
Fungsi uang sendiri diantaranya adalah
untuk alat tukar, karena tanpa uang kita harus mencari orang yang bisa diajak
barter. Kemudian yaitu sebagai satuan hitung, yaitu satuan yang kita gunakan untuk
mengukur nilai barang dan jasa. Lalu berikutnya sebagai alat penyimpanan nilai,
karena uang bisa disimpan terhadap waktu dengan bentuk tunai dan simpanan,
maupun dalam bentuk asset lain.
Selanjutnya mengenai pertumbuhan
uang beredar. Yang dimaksud dengan jumlah uang beredar adalah nilai keseluruhan
uang yang berada di tangan masyarakat. Jumlah uang beredar dalam arti sempit
(narrow money) adalah jumlah uang beredar yang terdiri atas uang kartal dan
uang giral. Secara teknis, yang dihitung sebagai jumlah uang beredar adalah
uang yang benar-benar berada di tangan masyarakat. Uang yang berada di tangan
bank(bank umum dan bank sentral) serta uang kertas dan logam (kuartal) milik
pemerintah tidak dihitung sebagai uang beredar. Perkembangan jumlah uang beredar
mencerminkan atau seiring dengan perkembangan ekonomi. Biasanya bila
perekonomian tumbuh dan berkembang, jumlah uang beredar juga bertambah, sedang
komposisinya berubah. Bila perekonomian makin maju, porsi penggunaan uang
kartal makin sedikit, digantikan dengan uang giral atau near money. Biasanya
juga bila perekonomian makin meningkat, komposisi M1 dalam peredaran uang makin
kecil, sebab porsi uang kuasi makin besar. Lalu mengenai
kebijakan moneter. Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan
uang sebuah negara untuk mencapai
tujuan tertentu; seperti menahan inflasi,
mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter
dapat melibatkan mengeset standar bunga
pinjaman "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau
bahkan bertindak sebagai peminjam
usaha terakhir atau melalui
persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan
yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal
(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni
menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja,
kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila
kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat
dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter
pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer
pada sektor riil. Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap
mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral
atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang
dengan persediaan barang.
Kebijakan
moneter dilakukan dengan beberapa cara, yaitu operasi pasar terbuka, kebijakan
tingkat diskonto, dan mengubah persyaratan cadangan. Perangkat kebijakan
moneter paling berguna adalah operasi pasar terbuka, karena dengan membeli dan
menjual surat berharga pemerintah di pasar bebas, Bank Indonesia dapat
menurunkan dan menaikkan cadangan bank. Kemudian kebijakan tingkat diskonto yaitu
pengaturan jumlah uang yang beredar dengan
memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang
mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk
membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank
sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang
beredar berkurang. Lalu yang berikutnya adalah mengubah
persyaratan cadangan dengan mengatur
jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang
harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah
menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar,
pemerintah menaikkan rasio.
Selanjutnya jita akan membicarakan mengenai nilai tukar. Nilai tukar adalah harga suatu
mata uang terhadap mata uang lainnya atau nilai dari suatu mata uang terhadap nilai mata uang lainnya. Kenaikan nilai tukar mata uang dalam negeri disebut apresiasi
atas mata uang asing. Penurunan nilai tukar uang dalam negeri disebut
depresiasi atas mata uang asing. Nilai tukar suatu mata uang ini akan berguna
untuk melakukan perdagangan internasional. Beberapa factor yang mempengaruhi
nilai tukar diantaranya:
- Laju inflasi relative. Dalam pasar valuta asing, perdagangan internasional baik dalam bentuk barang atau jasa menjadi dasar yang utama dalam pasar valuta asing, sehingga perubahan harga dalam negeri yang relatif terhadap harga luar negeri dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi pergerakan kurs valuta asing.
- Tingkat pendapatan relative. Faktor lain yang mempengaruhi permintaan dan penawaran dalam pasar mata uang asing adalah laju pertumbuhan riil terhadap harga-harga luar negeri. Laju pertumbuhan riil dalam negeri diperkirakan akan melemahkan kurs mata uang asing. Sedangkan pendapatan riil dalam negeri akan meningkatkan permintaan valuta asing relatif dibandingkan dengan supply yang tersedia.
- Suku bunga relative. Kenaikan suku bunga mengakibatkan aktifitas dalam negeri menjadi lebih menarik bagi para penanam modal dalam negeri maupun luar negeri. Terjadinya penanaman modal cenderung mengakibatkan naiknya nilai mata uang yang semuanya tergantung pada besarnya perbedaan tingkat suku bunga di dalam dan di luar negeri, maka perlu dilihat mana yang lebih murah, di dalam atau di luar negeri. Dengan demikian sumber dari perbedaan itu akan menyebabkan terjadinya kenaikan kurs mata uang asing terhadap mata uang dalam negeri.
- Kontrol pemerintah. Kebijakan pemerintah bisa mempengaruhi keseimbangan nilai tukar dalam berbagai hal termasuk: Usaha untuk menghindari hambatan nilai tukar valuta asing, usaha untuk menghindari hambatan perdagangan luar negeri, melakukan intervensi di pasar uang yaitu dengan menjual dan membeli mata uang.
- Ekspektasi. Faktor kelima yang mempengaruhi nilai tukar valuta asing adalah ekspektasi atau nilai tukar di masa depan. Sama seperti pasar keuangan yang lain, pasar valas bereaksi cepat terhadap setiap berita yang memiliki dampak ke depan. Dan untuk menentukan perubahan nilai tukar antar mata uang suatu negara dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terjadi di negara yang bersangkutan yaitu selisih tingkat inflasi, selisih tingkat suku bunga, selisih tingkat pertumbuhan GDP, intervensi pemerintah di pasar valuta asing dan expectations (perkiraan pasar atas nilai mata uang yang akan datang).
- Kemudian yang terakhir adalah inflasi. Inflasi adalah kenaikan harga secara umum dan bersifat terus menerus. Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%—30% setahun; berat antara 30%—100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan
permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan
produksi dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau
juga termasuk kurangnya distribusi).Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari
peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab
kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam
hal ini dipegang oleh Pemerintah (Government) seperti fiskal
(perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan
infrastruktur, regulasi, dll.
Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation)
terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu
oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi
dan memicu perubahan pada tingkat harga. Membanjirnya likuiditas di pasar juga
disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral
dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai
dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
Inflasi desakan biaya (cost push inflation) terjadi
akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan
distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat
secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau
berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat
memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau
juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk
tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Begitu juga hal yang sama
dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur
memainkan peranan yang sangat penting.
Setelah mengetahui teori-teori dari permasalahan diatas, mari
kita sesuaikan teori tersebut terhadap hasil yang diperoleh dari artikel jurnal
diatas. Seperti yang kita tahu sebelumnya, artikel jurnal ini telah
memiliki kesimpulan yaitu bahwa dampak
uang beredar pada inflasi pada saat uang beredar tumbuh di bawah 9,8% akan
lebih besar dibandingkan dengan dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi.
Kesimpulan ini berbeda dengan studi sebelumnya yang tidak memasukkan threshold
effect, dimana dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi adalah lebih
besar dibandingkan dengan pertumbuhan uang beredar pada setiap tingkat.
Kemudian juga kesimpulan bahwa kebijakan moneter mempunyai pengaruh yang kecil
atau tidak memberikan pengaruh pada saat pertumbuhan uang beredar sangat tinggi.
Teori menyebutkan bahwa perkembangan
jumlah uang beredar mencerminkan atau seiring dengan perkembangan ekonomi.
Biasanya bila perekonomian tumbuh dan berkembang, jumlah uang beredar juga
bertambah, dan komposisinya berubah. Namun bila komposisi uangnya tidak berubah
akan menyebabkan inflasi karena banyaknya uang tunai di tangan masyarakat. Sedangkan
untuk depresiasi nilai tukar, hal itu terjadi pasti karena factor internal dan
eksternal. Jika bicara factor internal hal ini disebabkan perubahan
harga dalam negeri yang relatif terhadap harga luar negeri dipandang sebagai
faktor yang mempengaruhi pergerakan kurs valuta asing.
Kesimpulan yang menyebutkan bahwa
jumlah uang beredar lebih dominan daripada factor depresiasi nilai tukar pada
saat inflasi menurut saya benar. Karena kita lihat disini depresiasi nilai
tukar mayoritas disebabkan oleh factor luar negeri, dan jumlah uang beredar
mayoritas dipengaruhi factor dalam negeri. Jika inflasi yang dimaksud disini
adalah inflasi yang hanya menimpa salah satu Negara (bukan inflasi global),
maka hal ini sesuai dengan pendapat penulis.
Kemudian untuk kesimpulan yang
menyatakan bahwa kebijakan moneter mempunyai pengaruh yang kecil atau tidak
memberikan pengaruh pada saat pertumbuhan uang beredar sangat tinggi. Pada saat
inflasi uang yang beredar tinggi kemudian dikeluarkan kebijakan moneter yang
dimaksudkan untuk menahan inflasi. Hal ini bisa berhasil bisa tidak, tergantung
pada banyak factor. Jika pertumbuhan uang yang beredar sangat tinggi, maka
kemungkinan pengaruhnya kecil, sebab kebijakan moneter tidak berefek langsung.
Pertama-tama akan berefek pada sector perbankan dahulu, baru kemudian berimbas
pada sector riil. Jika pertumbuhan uang beredar sangat cepat, maka efek dari
kebijakan moneter rasanya tidak cukup cepat untuk mengimbangi kecepatan
pertumbuhan uang beredar, sehingga kebijakan moneter memiliki pengaruh yang
kecil.
No comments:
Post a Comment