Keyword: Masyarakat Ekonomi ASEAN, Daya Saing, Free Trade
Sebagai bagian dari Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia akan memasuki era baru pada 2015, dengan terwujudnya ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). ASEAN –yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Persetujuan perdagangan bebas ini akan diimplementasikan penuh mulai 31 Desember 2015 oleh seluruh anggota, kecuali Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Keempat Negara ini baru akan berpartisipasi penuh pada 2018.
Untuk itu pemerintah membentuk sebuah
komite sebagai titik awal pengawasan pelaksanaan MAE. Komite ini sebagai wadah
dalam masalah-masalah apa saja yang terkait, seperti regulasi apa yang
menghambat, dan lain sebagainya, supaya Indonesia lebih kompetitif dari negara
lain. Komite ini nantinya yang akan menyoroti persiapan dan pelaksanaan MEA ke
depan. Terutama dalam persoalan daya saing yang saat ini masih perlu untuk
ditingkatkan.
Namun diluar pembentukan komite
tersebut, langkah Indonesia dalam mempersiapkan MAE ini terbilang minim. Padahal
kesiapan pemerintah Indonesia sangat diperlukan menghadapi MEA, jika tidak Indonesia
hanya akan menjadi pasar dan 'budak' negara ASEAN lainnya. Kesiapan pemerintah
diperlukan tidak hanya pada proteksi produk dalam negeri namun juga pada sisi
tenaga kerja.
Berdasarkan kajian yang dirilis
Sekretariat ASEAN, pada penilaian tahap ke-3 (2012-2013), Thailand menjadi
negara yang paling siap menghadapi implementasi Pasar Tunggal ASEAN 2015,
dengan tingkat kesiapan 84,6 persen, disusul Malaysia dan Laos (84,3 persen),
Singapura (84 persen), dan Kamboja (82 persen). Sedangkan skor kesiapan Indonesia
adalah 81,3 persen, alias di urutan ke-6. Posisi Indonesia dalam perdagangan
intraregional ASEAN saat ini juga belum optimal. Total ekspor Indonesia ke
negara-negara ASEAN masih di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Ekonom, Hendri Saparini menilai
pemerintah tidak punya kebijakan dan persiapan menghadapi pasar bebas ASEAN.
Padahal, implementasi kebijakan ini sudah di depan mata yaitu pada awal 2015
mendatang. Negara ASEAN lainnya seperti Thailand sudah mempersiapkan diri
menghadapi ini. Thailand dari dulu sudah fokus untuk mengembangkan produksi
pertaniannya hingga keluar negeri. Thailand bahkan sudah buat blue print untuk
masyarakat dan pengusaha, didukung dan dibiayai, serta diberikan insentif untuk
ekspansi ke Myanmar.
Kemudian dilihat menurut daya
saing-nya, peringkat daya saing Indonesia kini justru sedang merosot. Global
Competitiveness Report 2011-2012 menunjukkan, daya saing Indonesia berada di
peringkat 46, yakni di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Untuk
periode 2012-2013, peringkat Indonesia malah turun menjadi peringkat 50 dari
144 negara. Tetap di bawah Singapura yang berada di posisi 2, Malaysia (25),
Brunei (28), dan Thailand (38). Kajian Kementerian Perindustrian RI menyatakan,
ada empat faktor yang membuat daya saing Indonesia masih di bawah rata-rata
negara pesaing di kawasan ASEAN. Yaitu, kinerja logistik, tarif pajak, suku
bunga bank, serta produktivitas tenaga kerja.
Di pasar bebas ASEAN nanti, masyarakat
Indonesia kemungkinan hanya akan menjadi 'budak' di negeri sendiri. Pasalnya,
80 persen pengangguran Indonesia hanya lulusan SMP dan SD. Jika dibandingkan
dengan pengangguran negara tetangga, 80 persen pengangguran Singapura dan
Malaysia adalah lulusan perguruan tinggi dan SMA.
Isu liberalisasi arus tenaga kerja ini
juga jadi perhatian Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau Kadin. Jumlah
tenaga kerja yang kurang terdidik di Indonesia masih tinggi yakni mereka yang
berpendidikan di bawah SD dan SMP mencapai 68,27 persen atau 74.873.270 jiwa
dari jumlah penduduk yang bekerja sekitar 110.808.154 jiwa. Ini menyebabkan
masih rendahnya produktivitas dan daya saing tenaga kerja dalam negeri. Kadin
khawatir, nantinya buruh Indonesia akan tersisih, kalah bersaing dengan tenaga
kerja terampil asal negeri jiran.
Selain itu, standardisasi dan
sertifikasi produk dalam negeri masih sangat kurang dalam menghadapi MEA. Tidak
adanya standardisasi ini akan menjadi peluang bagi produk impor untuk
menggempur pasar dalam negeri. Jika pemerintah tidak membantu dan memberikan
pembinaan dalam hal standardisasi produk, maka ini akan menghancurkan produsen
khususnya UKM sebelum MEA. Standardisasi sangat memberatkan karena membutuhkan
biaya yang cukup banyak. Saat ini, banyak UKM yang mengeluhkan tidak bisa
mengikuti standar internasional.
Terlebih, Indonesia harus mewaspadai
persiapan negara-negara tentangga. Terlepas dari faktor lain, mereka dinilai
lebih kompetitif dari sisi konektivitas. Indonesia mesti sadar, negara
kita ini negara yang terdiri dari kepulauan, konektivitas menjadi penting. Kita
berhadapan dengan negara ASEAN lain, yang 8 negara itu semua sambung satu
dengan lainnya, karena berada di satu daratan. Indonesia dan Filipina problem besar,
yaitu masalah konektivitas.
Kini semua pihak harus
berkomitmen, fokus, konsisten, dan bekerja keras, agar Indonesia bisa memasuki
era Pasar Tunggal ASEAN dengan rasa percaya diri. Yaitu, rasa percaya diri yang
tumbuh karena didukung oleh daya saing yang kuat, sehingga produk-produk
Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dan, yang terpenting,
kita mampu memanfaatkan kehadiran MEA itu nanti untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous. 2014. 5 Bukti Kehancuran Indonesia Hadapi Pasar Bebas ASEAN 2015,
(Online), (http://menjejak-dunia.blogspot.com).
Arismunandar, Satrio.
2014. Masyarakat Ekonomi ASEAN:
“Ketar-ketir” Menyambut Terwujudnya Pasar Tunggal ASEAN 2015 (untuk Majalah
Aktual), (Online), (http://satrioarismunandar6.blogspot.com).
Jefriando, Maikel. 2014.
Hadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, Ini
Persiapan Pemerintah, (Online), (http://finance.detik.com).
Suryowati, Estu. 2014. Indonesia Harus Waspada Negara Tetangga,
(Online), (http://bisniskeuangan.kompas.com).
No comments:
Post a Comment