9/27/2015

Kurangnya Persiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

Keyword: Masyarakat Ekonomi ASEAN, Daya Saing, Free Trade

Sebagai bagian dari Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia akan memasuki era baru pada 2015, dengan terwujudnya ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). ASEAN –yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Persetujuan perdagangan bebas ini akan diimplementasikan penuh mulai 31 Desember 2015 oleh seluruh anggota, kecuali Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Keempat Negara ini baru akan berpartisipasi penuh pada 2018.
Untuk itu pemerintah membentuk sebuah komite sebagai titik awal pengawasan pelaksanaan MAE. Komite ini sebagai wadah dalam masalah-masalah apa saja yang terkait, seperti regulasi apa yang menghambat, dan lain sebagainya, supaya Indonesia lebih kompetitif dari negara lain. Komite ini nantinya yang akan menyoroti persiapan dan pelaksanaan MEA ke depan. Terutama dalam persoalan daya saing yang saat ini masih perlu untuk ditingkatkan.


Namun diluar pembentukan komite tersebut, langkah Indonesia dalam mempersiapkan MAE ini terbilang minim. Padahal kesiapan pemerintah Indonesia sangat diperlukan menghadapi MEA, jika tidak Indonesia hanya akan menjadi pasar dan 'budak' negara ASEAN lainnya. Kesiapan pemerintah diperlukan tidak hanya pada proteksi produk dalam negeri namun juga pada sisi tenaga kerja.
Berdasarkan kajian yang dirilis Sekretariat ASEAN, pada penilaian tahap ke-3 (2012-2013), Thailand menjadi negara yang paling siap menghadapi implementasi Pasar Tunggal ASEAN 2015, dengan tingkat kesiapan 84,6 persen, disusul Malaysia dan Laos (84,3 persen), Singapura (84 persen), dan Kamboja (82 persen). Sedangkan skor kesiapan Indonesia adalah 81,3 persen, alias di urutan ke-6. Posisi Indonesia dalam perdagangan intraregional ASEAN saat ini juga belum optimal. Total ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN masih di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. 
Ekonom, Hendri Saparini menilai pemerintah tidak punya kebijakan dan persiapan menghadapi pasar bebas ASEAN. Padahal, implementasi kebijakan ini sudah di depan mata yaitu pada awal 2015 mendatang. Negara ASEAN lainnya seperti Thailand sudah mempersiapkan diri menghadapi ini. Thailand dari dulu sudah fokus untuk mengembangkan produksi pertaniannya hingga keluar negeri. Thailand bahkan sudah buat blue print untuk masyarakat dan pengusaha, didukung dan dibiayai, serta diberikan insentif untuk ekspansi ke Myanmar.
Kemudian dilihat menurut daya saing-nya, peringkat daya saing Indonesia kini justru sedang merosot. Global Competitiveness Report 2011-2012 menunjukkan, daya saing Indonesia berada di peringkat 46, yakni di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Untuk periode 2012-2013, peringkat Indonesia malah turun menjadi peringkat 50 dari 144 negara. Tetap di bawah Singapura yang berada di posisi 2, Malaysia (25), Brunei (28), dan Thailand (38). Kajian Kementerian Perindustrian RI menyatakan, ada empat faktor yang membuat daya saing Indonesia masih di bawah rata-rata negara pesaing di kawasan ASEAN. Yaitu, kinerja logistik, tarif pajak, suku bunga bank, serta produktivitas tenaga kerja. 
Di pasar bebas ASEAN nanti, masyarakat Indonesia kemungkinan hanya akan menjadi 'budak' di negeri sendiri. Pasalnya, 80 persen pengangguran Indonesia hanya lulusan SMP dan SD. Jika dibandingkan dengan pengangguran negara tetangga, 80 persen pengangguran Singapura dan Malaysia adalah lulusan perguruan tinggi dan SMA.
Isu liberalisasi arus tenaga kerja ini juga jadi perhatian Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau Kadin. Jumlah tenaga kerja yang kurang terdidik di Indonesia masih tinggi yakni mereka yang berpendidikan di bawah SD dan SMP mencapai 68,27 persen atau 74.873.270 jiwa dari jumlah penduduk yang bekerja sekitar 110.808.154 jiwa. Ini menyebabkan masih rendahnya produktivitas dan daya saing tenaga kerja dalam negeri. Kadin khawatir, nantinya buruh Indonesia akan tersisih, kalah bersaing dengan tenaga kerja terampil asal negeri jiran.
Selain itu, standardisasi dan sertifikasi produk dalam negeri masih sangat kurang dalam menghadapi MEA. Tidak adanya standardisasi ini akan menjadi peluang bagi produk impor untuk menggempur pasar dalam negeri. Jika pemerintah tidak membantu dan memberikan pembinaan dalam hal standardisasi produk, maka ini akan menghancurkan produsen khususnya UKM sebelum MEA. Standardisasi sangat memberatkan karena membutuhkan biaya yang cukup banyak. Saat ini, banyak UKM yang mengeluhkan tidak bisa mengikuti standar internasional.
Terlebih, Indonesia harus mewaspadai persiapan negara-negara tentangga. Terlepas dari faktor lain, mereka dinilai lebih kompetitif dari sisi konektivitas. Indonesia mesti sadar, negara kita ini negara yang terdiri dari kepulauan, konektivitas menjadi penting. Kita berhadapan dengan negara ASEAN lain, yang 8 negara itu semua sambung satu dengan lainnya, karena berada di satu daratan. Indonesia dan Filipina problem besar, yaitu masalah konektivitas.
Kini semua pihak harus berkomitmen, fokus, konsisten, dan bekerja keras, agar Indonesia bisa memasuki era Pasar Tunggal ASEAN dengan rasa percaya diri. Yaitu, rasa percaya diri yang tumbuh karena didukung oleh daya saing yang kuat, sehingga produk-produk Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dan, yang terpenting, kita mampu memanfaatkan kehadiran MEA itu nanti untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2014. 5 Bukti Kehancuran Indonesia Hadapi Pasar Bebas ASEAN 2015, (Online), (http://menjejak-dunia.blogspot.com).
Arismunandar, Satrio. 2014. Masyarakat Ekonomi ASEAN: “Ketar-ketir” Menyambut Terwujudnya Pasar Tunggal ASEAN 2015 (untuk Majalah Aktual), (Online), (http://satrioarismunandar6.blogspot.com).
Jefriando, Maikel. 2014. Hadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, Ini Persiapan Pemerintah, (Online), (http://finance.detik.com).
Suryowati, Estu. 2014. Indonesia Harus Waspada Negara Tetangga, (Online), (http://bisniskeuangan.kompas.com).

No comments:

Post a Comment